Senin, 21 Maret 2011

Menelisik Benak Manusia Terhadap Alam


Menelisik Benak Manusia Terhadap Alam
Dewasa ini semakin bertambahnya detik waktu semakin bertambah juga populasi manusia di bumi. hal ini berimplikasi dengan bertambahnya juga daya konsumsi dan eksploitasi terhadap sumberdaya alam di bumi. krisis lingkungan yang kita alami saat ini tidak lepas dari perilaku konsumtif dan eksploitatif manusia. pola fikir yang mengedepankan eksistensi manusia yang dilandasi faham antoposentrisme merupakan manifestasi manusia terhadap kerusakan alam.
Cara pandang manusia yang menyatakan bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai, manusia yang menjadi pusat alam semesta, sementara alam semesta hanya objek untuk memuaskan keinginan manusia. hal ini adalah kesalahan cara pandang yang bersumber dari etika antroposentrinme.
Dengan kondisi tersebut, soni keraf menyatakan dalam bukunya yang berjudul etika lingkungan bahwasannya perlunya suatu etika yang tidak hanya mengedepankan manusia. etika yang menjunjung tinggi nilai interaksi antar manusia, interaksi manusia dengan alam serta etika bagaimana menumbuhkan suatu prinsip yang membangun kebaikan alam sebagai oase kehidupan manusia. dengan etika ini, alam tidak sekedar bernilai intrumental-ekonomis untuk dieksploitasi untuk kepentingan manusia.
Cebuah khazanah filosofis menawarkan pilihan terhadap cara beretika kepada alam. misalnya biosentrisme yang mengakui eksistensi moral semua makluk hidup, scientientisme yang menyatakan semua makluk hidup itu mempunyai perasaan, dan ekosentrisme yang memandang ekosistem-ekosistem dan biosfer mempunyai arti moral yang tidak tergantung kepada arti para anggotanya.
Etika lingkungan di sini dimasukan dalam sebuah disiplin ilmu dan sekaligus tatakelola hidup yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia serta prinsip manusia yang menjiwai perilaku manusia dalam menjalin hubungan dengan alam semesta ini.
Keberhasilan etika lingkungan melestarikan fungsi lingkungan hidup dan sumber daya yang terkandung di dalamnya tidak cukup bergantung pada perubahan perilaku individu, tetapi juga harus ada pengaturan sistem sosial dan politik yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, Keraf mencoba merumuskan sembilan prinsip etika lingkungan sebagai dasar pengembangan lebih lanjut dalam kaitannya kehidupan berbangsa dan bernegara serta hubungan antarbangsa (globalisasi).
Pertama, sikap hormat terhadap alam. Manusia sebagai anggota komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies dalam komunitas ekologis tersebut. Perwujudan nyatanya, manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan alam beserta seluruh isinya. Kedua, prinsip tanggung jawab. Manusia dituntut untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. Berarti, kelestarian dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia.
Ketiga, solidaritas kosmis. Prinsip ini membangkitkan rasa sepenanggungan dan mendorong manusia untuk tidak merusak dan mencemari alam, seperti halnya tidak akan merusak kehidupannya sendiri. Prinsip ini berfungsi mengontrol perilaku manusia dalam batas-batas keseimbangan kosmis.
Keempat, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Prinsip ini menghapus sifat diskriminasi dan dominasi manusia terhadap makhluk lainnya. Kasih sayang dan kepedulian menyadarkan bahwa semua makhluk hidup di alam ini mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat. Kelima, prinsip ”No Harm”. Prinsip ini menjadi dasar perilaku manusia untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi makhluk hidup lain, sebagaimana manusia tidak dibenarkan secara moral untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan sesama manusia.
Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Prinsip ini melandasi pola hidup baru, menggantikan pola hidup yang materialistis, konsumtif, dan eksploitatif. Ketujuh, prinsip keadilan. Prinsip ini memasuki wilayah politik ekologi, di mana pemerintah dituntut untuk membuka peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan publik lingkungan hidup dan dalam memanfaatkan sumber daya alam serta jasa lingkungan.
Kedelapan, prinsip demokrasi. Prinsip ini selaras dengan hakikat alam, yaitu keanekaragaman dan pluralitas. Paradigma pembangunan berkelanjutan hanya mungkin diterima kalau pembangunan dipahami sebagai berdimensi plural. Kesembilan, prinsip integritas moral. Prinsip ini sangat berkaitan dengan integritas moral pejabat publik. Selama pejabat publik tidak mau bertanggung jawab atas kebijakan dan tindakannya yang merugikan lingkungan hidup, lingkungan hidup akan tetap dirugikan.
Gagasan tentang etika lingkungan yang cukup radikal ini sebenarnya sudah disajikan penulis pada buku dengan judul yang sama edisi pertama yang terbit pada 2002. Sejak saat itu buku ini menjadi salah satu referensi penting wacana dan perbincangan ilmiah pendekatan etis terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Sampai saat ini gagasan dalam buku ini masih sangat relevan karena dengan instrumen teknik lingkungan, ekonomi lingkungan, dan politik lingkungan belum juga mampu menyelesaikan krisis lingkungan. Apalagi, dalam buku revisi ini selain beberapa revisi teknis juga ditambahkan satu bab baru mengenai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.