Rabu, 20 Maret 2013

Di batas selatan Bojonegoro


Mengolah untuk tetap bisa makan dan tetap rimba di bagian penangkap hujan

Jalan di tengah BKPH Dander
Lagu White shoes and the couples company dengan getar beritme pada handphone . Panggilan masuk dari nomer yang belum tersimpan pada phonebook saya. Halo,, selamat pagi..ini dengan siapa? Sapaku kepada lawan bicara yang ada di sana. ternyata adalah anggota nursery yang ijin mengalihkan tugas kerja karena ia sedang sakit. Iya ga papa, bapak istirahat dan semoga lekas sembuh. Tutup pebincangan telpon di pagi itu.

Hari itu adalah pagi di hari minggu. Dan saya baru bangun saat ada telefon masuk. Maklum pada malem minggu nya kencan dengan bunga kamboja via signal telkomsel sampai pagi. Betul kata orang, entah siapa yang bilang atau kapan itu ditulis,setidaknya saya pernah membacanya. Bahwa,,,,signal adalah asset sangat berharga bagi pelaku yang masuk di area hubungan jarak jauh.


Oke,, niatnya di minggu ini mau mengingat-ingat hasil dari jalan-jalan ke kecamatan sekar yang berada di batas selatan kabupaten Bojonegoro. ketertarikan saya pada mulanya berawal pada bincang-bincang dengan kawan se RT saat ngopi bareng di Taman Bengawan Solo-taman yang berada di kota Bojonegoro yang lokasinya tepat di bibir sungai Bengawan Solo di utara pasar Kota Prabu Angling Dharma ini.

Bersama empat kawan, Dheni, Gepeng, Aji dan Nggimbal. Pada tikar pandan di Taman itu kami menikmati kopi tubruk buatan ibunya Gepeng-owner sekaligus barista warung kopi di taman. Tekstur bubuk kopinya sedikit kasar, biasanya bubuk kopi yang seperti ini digiling menggunakan mesin pada penggilingan yang ada di pasar. Untung aroma kopinya cukup kuat, biji kopinya menandakan dibeli dengan kualitas yang tidak murahan. Dari aromanya, kopi ini dibuat dengan air yang sangat panas dan betul-betul mendidih. Srupptt….  sembari menghirup wangi aroma kopi dan nyesss… sembari melepas resah yang masih menyelip pada rusuk tulang dada. Kuat asamnya dan gurih.

Warung kopi di taman bengawan solo atau mudahnya disingkat TBS ini, adalah salah satu titik penikmat kopi mencicip seduhan bubuk kopi dalam kepulan panas air dari tungku. Selain di TBS ada juga tempat lain yang tersebar di Bojonegoro. di sebelah barat batas kabupaten Bojonegoro juga terkenal dengan warung kopinya, dengan menu kopi kotok. Kopi kotok itu kopi yang cara menyeduhnya bubuk kopi dan gula dicampurkan saat air sedang dididihkan. Suhu air yang sangat panas akan membuat sari kopi benar-benar menyatu pada air. Menjadi koloid berwarna hitam yang mendekati rasa espresso. Sangat cocok untuk penikmat kopi. Bagi yang merasa pait, boleh dicampurkan susu murni atau krimmer supaya lebih santai rasa kopinya. Eh… ada catatan dalam penggunaan krimmer, gunakanlah krimmer yang terbuat dari santan kelapa, lebih sehat karena mengandung lemak jenuh sehat yang dapat menambah kekebalan tubuh.

Pada sela-sela lidah mengecap gurih kopi sembari memilih serpihan biji kopi yang tampias pada gigi, Gimbal bercerita tentang petani yang menggarap lahan perhutani di BKPH Dander dan BKPH Sekar KPH Bojonegoro. kalau dulu saya sering dengar cerita tentang perebutan lahan antara pemerintah yang diwakili oleh perhutani dengan masyarakat dekat hutan, pada cerita yang didongengkan oleh Gimbal tampak berbeda. Masyarakat mengolah lahan perhutani secara terpadu dengan kalender pemanenan dan budidaya Perhutani.

Penasaran saya, dan langsung membuat janji dengan mereka untuk melihat-lihat daerah-daerah yang diceritakan oleh Gimbal dan Gepeng. satu malam jeda dari kami ngopi di TBS, paginya kami bersiap nge-trip ke daerah selatan kabupaten Bojonegoro, yang kaya sumber daya alam dan sumber daya social. Kami berempat, Gimbal, Gepeng, Mas Eko dan saya sendiri. Berangkat dari RT kami pukul Sembilan pagi, dan kecamatan Dander sampai daerah Atas angin (konon ini adalah dataran tertinggi di Bojonegoro) serta kecamatan Sekar adalah tujuan trip kami hari ini.

Bojonegoro bagian kota adalah dataran rendah dan datar. Jalan yang kami lalui dengan motor cukup tenang dan tidak menemukan tantangan yang berarti. Jalan lurus dari kualitas aspal yang cukup baik, sehingga kami tak harus pilah-pilih mencari bagian badan jalan yang harus kami lalui. Bojonegoro adalah kabupaten kecil, sehingga kami tak harus banyak-banyak menghirup udara yang sudah terseduh dengan asap kendaraan yang padat merayap, lalu lintas di kota kecil ini lantjar djaja. Tak sengaja melihat jarum speedometer pada motor  menunjukan angka beberapa baris diatas angka 80. Wah,,ini namanya touring, seperti halnya yang sering dilakukan oleh comunitas motor banter yang ada di kabupaten Bojonegoro.

Di Bojonegoro ternyata banyak terdapat penggemar motor tua yang dimodifikasi mesinnya. Sehingga kalean yang bukan dari daerah Bojonegoro atau sekitarnya jangan kaget kalau motor CB 100 disini bisa lempeng berada di depan jika balapan dengan motor baru keluaran dealer dengan cc mesin 250 cc. Kebetulan, salah satu dari berempat yang hari ini tour adalah penggemar motor banter, Gepeng.

Oke,,motor kami ternyata sudah cukup jauh mengarungi bahu aspal. Cuaca sedikit mulai terasa berbeda. Pemandangan kanan-kiri jalan sudah berbeda. Saat ini, yang dapat kami nikmati dari atas motor adalah tegakan pohon jati yang kanopinya rapat menaungi jalan raya. Adem cuacanya, ayem senyum ibu-ibu yang sedang nggendong kayu bakar. Sebuah potret yang menyejukan hati. Di tengah kabar harga minyak dunia menjulang tinggi, ibu ini masih asyik sendiri dan mandiri dalam menggunakan bahan bakar untuk kegiatan rumah tangganya.

Tak jauh dari pemandangan barusan, ada kegiatan pemanenan kayu jati. Pohon jati dengan diameter diatas 30 cm yang sebelumnya sudah diteres, sehingga sudah mengering tanpa daun. Peneresan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada pohon jati serta mengaktifkan zat tectin pada kayu secara alami. Peneresan biasanya dilakukan 2 tahun sebelum pemanenan. Sehingga saat kayu dipanen, pohon sudah mati dan tidak mudah diserang penggerek.

Pada kegiatan pemanenan hutan disini, belum memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja sesuai standard K3 pada perusahaan multinasional di Indonesia. Terlihat jelas para pekerja tanpa safety helmet dan safety shoes. Padahal jika kita melihat resiko kecelekaan pada kegiatan penebangan hutan itu sangat tinggi. Menjadi catatan penting bagi pemegang kuasa pada pengelolaan hutan jati di daerah ini. Karena safety atau keselamatan kerja adalah aspek penting dalam bekerja.

Lepas dari unsur safety, ternyata sistem kontrak kerja pada pekerja penebangan pohon jati di BKPH ini cukup menarik. Selain ada pembayaran sesuai HOK, ada juga jatah garapan lahan untuk pertanian. Masyarakat yang tergabung dalam kelompok perhutani mengolah lahan perhutani dengan menanami jagung. Lahan yang ditanami adalah lahan yang baru saja dipanen kayunya sampai pada lahan itu ditanami lagi. Setelah lahan itu ditanami dan sampai pada lahan itu belum tertutup penuh oleh tajuk tanaman budidaya, maka petani dapat mengelola lahan di Perhutani. Pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman komoditi dengan tingkat penutupan sudah tinggi, petani memilih untuk berpindah di area yang baru ditebang.

Pengelolaan lahan hutan bersama masyarakat memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar hutan. Manfaat langsung berupa lapangan pekerjaan dan manfaat memiliki lahan garapan. Dan manfaat tidak langsung berupa iklim mikro yang adem dan seger. Persedian air bersih yang tidak tersengal-sengal seperti didaerah lainya yang sudah plontos hutanya.

Tumpangsari Jati dengan Singkong dan Jagung
Disepanjang perjalanan touring hari itu, kami beberapa kali berhenti untuk mengambil foto dan sekedar menghirup dalam-dalam udara yang pastinya sangat mahal kalau komoditi ini nantinya dikemas dalam kaleng dan diperjual belikan. Dan saat pas berada di atas angin, kami juga berhenti. Sejauh pandangan mata ke arah utara, kilap pantulan sinar matahari oleh kaca dari perumahan yang ada di kota Bojonegoro menunjukan kalau kami berada pada dataran tertinggi di Kota Malowopati ini. Kearah timur , barat dan selatan adalah padu-padan bukit yang didominasi dengan hutan jati dan pertanian jagung, serta beberapa titik terdapat desa mungil sebagai penghuni lembah.

Tumpangsari Jati dengan Jagung (sudah dipanen)
Sumber daya alam yang segar, lahan subur yang terbentang dengan kemampuan masyarakat mengolah yang sudah matang. Melihat ini, ingin saja saya bertempat tinggal disini. Ingin saya lama-lama di sini. Bersama warga local mengolah lahan disetiap jengkal. Mengolah untuk tetap bisa makan dan tetap rimba di bagian penangkap hujan.

Pukul 11.40 waktu setempat, kami mampir pada kedai kopi. Warung kopi pinggiran, tampangnya dekil, menu kopinya hanya ada kopi item biasa. Disini tak ada espresso atau decafe. Tlapak meja berwarna putih keabuan. Mungkin setahun yang lalu tlapak ini masih berwarna putih bersih. Warungnya boleh saja sangat apa adanya, tapi pemilik warung sangat ramah. Tak ada yang ia rasakan keberadaan warungnya serba kucel. Dari gaya ketika bapak setengah baya ini berbicara, menunjukan nikmat tuhan itu selalu ada di depan rumahnya, warung satu-satunya.

Kepulan asap pada permukaan liquid hitam sangat menggoda, saya angkat cangkir dengan pelan-pelan, saya menyutubuhi kopi dalam cangkir kecil ini. Tak saya sangka, kopinya cukup nikmat. Rasanya boleh diadu dengan warung-warung kopi di lingkar kampus saya kuliah. Jauh malahan, warung kopi di sebagian kota besar kebanyakan menggunakan kopi sacetan. Kopi sacetan itu tak mempunyai variasi rasa, karena ya racikan seragam dari sananya. Tapi racikan kopi Bapak Darsono siang ini adalah racikan tangan dengan sentuhan emosional yang kuat. Ia menyeimbangkan takaran kopi dan gula, kopinya lembut, rasa asamnya tidak terlalu kuat. Ini pasti kopinya jenis arabika. Racikan seperti ini sangat cocok untuk siang hari. Srupptt….segar..dan mata kembali mekar.

Setelah sekian belas menit saya tergoda oleh rasa kopi dan berbincang-bincang dengan bapak Darsono, saya tersadar, dingklik panjang yang saya duduki adalah dingklik yang istimewa menurut saya. Terbuat dari kayu Tectona grandis tanpa dihaluskan pada mulanya, dari warna kayu, ini pasti bukan dari pohon yang usianya di bawah 50 tahun. Tapi sekarang sudah mulus dan mengkilap dengan alami. Ukuran tebal ada sejengkal tangan saya. Panjang dua meter setengahan dan lebar kira-kira satu setengah jengkal. Dan tidak hanya ada satu, saya putar kepala dan mengidentifikasi benda-benda disekitar, terdapat 3 kursi sejenis yang saya duduki. Giila,,,dekil-dekil gini keistimewaanya ada di kursi, tentunya selain racikan kopinya.

Perjalanan kami lanjutkan, jalan di kecamatan sekar dan sekitarnya memang berbeda dengan daerah Bojonegoro bagian utara. Naik turun dan berkelok menjadi arena berkendara yang harus kami taklukan hari itu. Pada panel informasi jarak tempuh di sepeda motor, 60 Km sudah kami tempuh, dan untuk kembali ke RT kami, masih ada 60 Km lagi untuk dilalui.

Jarak yang jauh bukan menjadi halangan untuk menyatu pada desa dan alam yang masih jujur. Di desa-desa tadi itulah saya melihat peluh wanita-wanita memanen jagung secara gotong-royong. Sekarang manen di mbok inah, besok manen di ibu lurah dan lusa manen di pak Sukirah, bergantian dengan imbal bukan rupiah, tapi saling bantu untuk memanen jagung menjadi beras dan lauk-pauk di setiap meja makan dalam rumah.

Pukul 17.00 kami kembali rehat di warung kopi yang sudah dekat dengan rumah masing-masing. Dan diwarung itu kami berpisah, saya dan mas Eko ijin pulang terlebih dulu setelah meneguk kopi dalam cangkir putih.

-hp-
Kutai Kartanegara, Maret 2013

1 komentar: