Selasa, 28 Mei 2013

Citra niaga [katalog]


Ragam buah tangan










Gelang kayu

Citra niaga


Pukul 11 lewat beberapa menit, siang hari. Saya putuskan untuk menggunakan jasa angkot untuk menuju pertokoan Citra niaga. Sebenarnya pernah sekali ke tempat itu, tapi sudah beberapa bulan yang lalu, dan kini, saya lupa. Saya tidak yakin segera menemukan tempat itu bila dengan berkendara sendiri. Jasa angkutan kota adalah pilihan tepat untuk menuju sana. Sebenarnya bisa juga menggunakan ojek yang lebih cepat, tapi Samarinda dengan siang yang erat dengan bulir-bulir debu yang bebas mondar-mandir-hilir-mudik, saya rasa tak tepat bila menggunakan jasa ojek. Ingin yang lebih nyaman juga ada, taksi dengan seri sedan Limo. Dengan jasa angkutan ini, harus dalam-dalam rogoh kocek, sehingga cukup bukan menjadi pilihan.

Angkot juga mengingatkan saya pada masa kuliah dulu. Saat kuliah angkot menjadi pilihan primadona kebanyakan mahasiswa yang akan memobilisasi diri ke suatu lokasi, tak terkecuali saya. Meskipun abang-abang angkotnya tidak jarang juga membuat suasana gerah karena ngetem yang tak kunjung melepas pedal rem, tapi tetap saja, kehadiranya sering saya nanti-nanti.

Rabu, 22 Mei 2013

Total Residu Terlarut


Masih terjaga bersama waktu. Tak hanya waktu, akhir-akhir ini selain kopi dan kotak putih ada faktor lagi yang menjadi kawan dekat, jarak. Begitupun sebenarnya saya berseteru dengan jarak, tapi saya jadi mengerti apa makna dari kilometer dan kedekatan. Ini masih terlalu pagi, tak baik terus berseru pada jarak. Oke, saya hanya ingin bercerita tentang rekan dan yang intim pada rekan saya.

Sebenarnya waktu itu saya basa-basi ngajak dia ngopi di sebuah kedai. Di kota ini, kota yang baru saya akrabi, lebih sering ngopi sendiri. jarang dari rekan baru saya disini yang sehobi dengan melewati setiap menit dalam jam-jam di kedai. Dan saat itu, rekan saya, Dito namanya, menerima tawaran saya. Jadilah kami ngopi. Dito adalah enginer lingkungan yang dua tahun lebih dulu memulai pengalaman dalam area lingkungan tambang.

Ia pernah bilang, ketika sudah berkeluarga, ia lebih memilih tinggal di perumahan dari pada hidup di desa. Selain tertata, perumahan memberi jaminan hidup yang lebih privat. Di desa tidak seperti itu. “Di desa dalam seminggu bisa saja harus menghadiri undangan syukuran sampai sembilan kali” kata dia. Dari situ saya menilai Dito adalah teman yang cukup menghindar dari kehidupan rural, dan lebih memilih yang invidual. Saya sempat berfikir, ia adalah introvert.