Pukul
tujuh lewat tujuh belas menit, jam digital yang ada pada kanan bawah layar
leptop. Sore perdana berada di kamar mess setelah saya tinggal mudik lebaran
beberapa hari kemarin. Sore tadi sudah saya bersihkan debu-debu yang melekat di
kulit porselen lantai, bahkan jarin g-jaring rumah binatang yang seperti
laba-laba tapi memiliki kaki lebih panjang dan ukuran badan lebih kecil. Sprei
yang telah tercuci tadi pagi, sore ini sudah wangi dan siap membungkus kasur
ber-per. Tumpukan buku yang terbiar berantakan di meja saat saya tinggal mudik
kemarin, saya tata kembali. Rapih dan bersih, itu yang saya harapkan. Ehh,,
masih ada yang kurang. Harus juga wangi. Pewangi ruangan siap menyemprot pada
setiap sudut ruang kamar. Sudah, sekarang sudah wangi.
Tapi
wangi parfum tak selamanya membuat saya betah. Saya buka jendela, saya matikan
pendingin. Asbak yang sudah beberapa waktu menjadi pengangguran kini ia harus
kembali bekerja. Jobsdesc-nya cukup
sederhana, diam dan menampung abu-abu yang kadang masih mengandung api kecil.
Itu saja. Dan ia selalu melakukan pekerjaanya dengan baik. Karena itulah ia
selalu berada di sisi kiri meja saya. Ia penurut dan tak pernah mrengut meski sering kesulut.
Sruppptt…
kecupan bibir cangkir sore ini. Takaran kopi yang pas. Ini racikan kopi
sendiri, setelah beberapa hari termanjakan oleh tangan dua wanita hebat yang
selalu menawarkan untuk membuatkan kopi saya.
Wanita pertama adalah emak saya. Wanita yang memperkenalkan kopi kepada
saya. Beliau adalah peracik kopi sederhana yang memperhatikan proses dari
sangrai sampai tersedu di cangkir. Tak pernah memilih kopi dari macam
spesiesnya. Yang beliau tahu adalah pergi ke pasar dan membeli ke penjual kopi
dengan mengatakan “kopi setengah (maksudnya adalah setengah kilogram) yang enak
ya buk”. Itulah yang selalu dipinta emak saat membeli kopi. Arabica atau
robusta emak tak pernah peduli, kalau sekarang saya yang tidak tahu apakah emak
sudah ngerti apa belum tentang jenis kopi, karena saya juga tak pernah bertanya
lagi kepada emak.
Kalau
saya taksir, kopi emak adalah jenis Arabica. Beliau selalu membeli dengan
kualitas yang bagus, meski harga kopi yang dibeli emak lebih mahal dikit
dibanding lainya. Itulah emak, selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga.
Dan kopi Arabica memang memiliki harga yang lebih tinggi dibanding jenis
robusta yang juga banyak dijual di pasar-pasar.
Emak
menyangrainya dengan wajan lemah. Tak
pernah sesekalipun dengan wajan dari besi atau stell. Pernah suatu hari wajan
lemah-nya pecah, dan beliau lebih
memilih pinjam ke Bulek untuk menyangrainya dari pada menggunakan wajan dari
bahan lainnya yang ada di dapur. Warna hitam tak sampai gosong, begitulah emak
menyangrainya. Saya juga belum mengerti parameter kematangan kopi saat
disangrai. Menurut saya warna hitam yang ditimbulkan karena panas api ya itu
gosong. Tapi emak tidak begitu. Kematangan kopi sangrai diukur dari warna dan
aroma kopi. Kopi yang gosong saat proses sangrai memiliki aroma gosong. Dan
puncak kematangan kopi pada proses sangrai memiliki ketajaman aroma kopi yang
harum. itu kata emak. Dulu saya tidak bisa membedakan mana yang matang dan mana
yang gosong. Saya mengiyakan saja saat emak mulai berargumen dengan karya
kopinya itu. Tapi saat ini saya sedikit merasakan aroma yang keluar dari kopi
matang pada proses sangrai itu. Iya,, harum kopi, bukan bau gosong seperti
setrikaan yang dibiarin panas di atas baju yang mau disetrika dan penyetrika
lupa dengan setrikaanya karena ditinggal telponan sama pacar.
Proses
berikutnya adalah ndeplok (menumbuk
biji kopi) biji kopi yang telah disangrai. Waktu saya masih berseragam
putih-biru selep kopi sudah menjamur di kanan-kiri kampong tapi emak tak pernah
sesekali nyelep biji kopi dengan mesin. Kata emak “rasane bedo” citarasanya beda.
Kecuali bila kebutuhan kopi lagi banyak karena lagi ada yang bekerja di sawah
atau lagi ada tahlilan malam jumat, beliau akan nyelep kopi dengan mesin. Bila
untuk kebutuhan keluarga beliau selalu ndeplok sendiri. Alu dari kayu mahoni
dan lumpang dari kayu jati adalah perangkat keras untuk ndeplok. Kopi yang dideplok
dengan halus kemudian diayak atau disaring dengan ayakan halus. Bubuk kopi yang
tertinggal di ayakan akan di tumbuk kembali oleh emak sampai sehalus-halusnya.
Emak
tak pernah menyangrai kopi pada jumlah yang banyak. Beliau selalu menakar
kopinya yang diperuntukan tak lebih dari seminggu. Bubuk kopi yang berumur
lebih dari seminggu setelah proses memiliki rasa yang mulai pudar, kadang juga
sudah mulai tengik.
Penyimpanan
bubuk kopi dalam tempat tertutup rapat terbukti lebih menjaga kualitas kopi.
Lodong atau toples kaca adalah contoh tempat bubuk kopi yang baik. Ada lagi
yang lebih baik, yaitu gerabah kecil berbentuk gentong. Ini rasanya lebih
terjaga dan natural.
Untuk
mendapatkan cita rasa secangkir wedang kopi tidak berhenti di sini. Takaran
dalam meracik satu cangkir memang tergantung selera. Seperti komposisi bubuk
kopi, gula dan airnya itu sesuai penikmat masing-masing. Tapi ada hal lagi yang
mesti diperhatikan. Kematangan air. Air yang dipanaskan untuk membuat kopi
harus benar-benar dalam kondisi mendidih. Pada air yang sekedar panas bagi
penikmat kopi akan membuat kembung perut penikmat. Air yang mendidih akan
benar-benar melarutkan sari kopi dalam air. Koloid yang terbentuk sangat legap
dan kental.
“klutik,,,
klutik,,, klutik” benturan sendok dengan dinding cangkir yang berisi racikan
kopi. Adukan yang betah akan membuat racikan makin sedap. Jangan lupa,
penampilan cangkir mempengaruhi selera dalam menikmati kopi. Begitulah kearifan
emak dalam menyajikan secangkir kopi.
Emak
adalah perempuan pertama, ada lagi perempuan yang saat membuat kopi sangat
memperhatikan dalam menyajikanya. Perempuan itu, nanti akan adalah sambungan
yang akan bercerita tentangnya. Saat ini, mari menikmati kopi dari emak. Kopi
emak memang enak, #srupptt.
Hp
Kutai Kartanegara, Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar