Selasa, 20 Agustus 2013

Kopi Emak memang enak


Pukul tujuh lewat tujuh belas menit, jam digital yang ada pada kanan bawah layar leptop. Sore perdana berada di kamar mess setelah saya tinggal mudik lebaran beberapa hari kemarin. Sore tadi sudah saya bersihkan debu-debu yang melekat di kulit porselen lantai, bahkan jarin g-jaring rumah binatang yang seperti laba-laba tapi memiliki kaki lebih panjang dan ukuran badan lebih kecil. Sprei yang telah tercuci tadi pagi, sore ini sudah wangi dan siap membungkus kasur ber-per. Tumpukan buku yang terbiar berantakan di meja saat saya tinggal mudik kemarin, saya tata kembali. Rapih dan bersih, itu yang saya harapkan. Ehh,, masih ada yang kurang. Harus juga wangi. Pewangi ruangan siap menyemprot pada setiap sudut ruang kamar. Sudah, sekarang sudah wangi.

Tapi wangi parfum tak selamanya membuat saya betah. Saya buka jendela, saya matikan pendingin. Asbak yang sudah beberapa waktu menjadi pengangguran kini ia harus kembali bekerja. Jobsdesc-nya cukup sederhana, diam dan menampung abu-abu yang kadang masih mengandung api kecil. Itu saja. Dan ia selalu melakukan pekerjaanya dengan baik. Karena itulah ia selalu berada di sisi kiri meja saya. Ia penurut dan tak pernah mrengut meski sering kesulut.

Sruppptt… kecupan bibir cangkir sore ini. Takaran kopi yang pas. Ini racikan kopi sendiri, setelah beberapa hari termanjakan oleh tangan dua wanita hebat yang selalu menawarkan untuk membuatkan kopi saya.  Wanita pertama adalah emak saya. Wanita yang memperkenalkan kopi kepada saya. Beliau adalah peracik kopi sederhana yang memperhatikan proses dari sangrai sampai tersedu di cangkir. Tak pernah memilih kopi dari macam spesiesnya. Yang beliau tahu adalah pergi ke pasar dan membeli ke penjual kopi dengan mengatakan “kopi setengah (maksudnya adalah setengah kilogram) yang enak ya buk”. Itulah yang selalu dipinta emak saat membeli kopi. Arabica atau robusta emak tak pernah peduli, kalau sekarang saya yang tidak tahu apakah emak sudah ngerti apa belum tentang jenis kopi, karena saya juga tak pernah bertanya lagi kepada emak.

Kalau saya taksir, kopi emak adalah jenis Arabica. Beliau selalu membeli dengan kualitas yang bagus, meski harga kopi yang dibeli emak lebih mahal dikit dibanding lainya. Itulah emak, selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga. Dan kopi Arabica memang memiliki harga yang lebih tinggi dibanding jenis robusta yang juga banyak dijual di pasar-pasar.

Emak menyangrainya dengan wajan lemah. Tak pernah sesekalipun dengan wajan dari besi atau stell. Pernah suatu hari wajan lemah-nya pecah, dan beliau lebih memilih pinjam ke Bulek untuk menyangrainya dari pada menggunakan wajan dari bahan lainnya yang ada di dapur. Warna hitam tak sampai gosong, begitulah emak menyangrainya. Saya juga belum mengerti parameter kematangan kopi saat disangrai. Menurut saya warna hitam yang ditimbulkan karena panas api ya itu gosong. Tapi emak tidak begitu. Kematangan kopi sangrai diukur dari warna dan aroma kopi. Kopi yang gosong saat proses sangrai memiliki aroma gosong. Dan puncak kematangan kopi pada proses sangrai memiliki ketajaman aroma kopi yang harum. itu kata emak. Dulu saya tidak bisa membedakan mana yang matang dan mana yang gosong. Saya mengiyakan saja saat emak mulai berargumen dengan karya kopinya itu. Tapi saat ini saya sedikit merasakan aroma yang keluar dari kopi matang pada proses sangrai itu. Iya,, harum kopi, bukan bau gosong seperti setrikaan yang dibiarin panas di atas baju yang mau disetrika dan penyetrika lupa dengan setrikaanya karena ditinggal telponan sama pacar.

Proses berikutnya adalah ndeplok (menumbuk biji kopi) biji kopi yang telah disangrai. Waktu saya masih berseragam putih-biru selep kopi sudah menjamur di kanan-kiri kampong tapi emak tak pernah sesekali nyelep biji kopi dengan mesin. Kata emak “rasane bedo” citarasanya beda. Kecuali bila kebutuhan kopi lagi banyak karena lagi ada yang bekerja di sawah atau lagi ada tahlilan malam jumat, beliau akan nyelep kopi dengan mesin. Bila untuk kebutuhan keluarga beliau selalu ndeplok sendiri. Alu dari kayu mahoni dan lumpang dari kayu jati adalah perangkat keras untuk ndeplok. Kopi yang dideplok dengan halus kemudian diayak atau disaring dengan ayakan halus. Bubuk kopi yang tertinggal di ayakan akan di tumbuk kembali oleh emak sampai sehalus-halusnya.

Emak tak pernah menyangrai kopi pada jumlah yang banyak. Beliau selalu menakar kopinya yang diperuntukan tak lebih dari seminggu. Bubuk kopi yang berumur lebih dari seminggu setelah proses memiliki rasa yang mulai pudar, kadang juga sudah mulai tengik.

Penyimpanan bubuk kopi dalam tempat tertutup rapat terbukti lebih menjaga kualitas kopi. Lodong atau toples kaca adalah contoh tempat bubuk kopi yang baik. Ada lagi yang lebih baik, yaitu gerabah kecil berbentuk gentong. Ini rasanya lebih terjaga dan natural.

Untuk mendapatkan cita rasa secangkir wedang kopi tidak berhenti di sini. Takaran dalam meracik satu cangkir memang tergantung selera. Seperti komposisi bubuk kopi, gula dan airnya itu sesuai penikmat masing-masing. Tapi ada hal lagi yang mesti diperhatikan. Kematangan air. Air yang dipanaskan untuk membuat kopi harus benar-benar dalam kondisi mendidih. Pada air yang sekedar panas bagi penikmat kopi akan membuat kembung perut penikmat. Air yang mendidih akan benar-benar melarutkan sari kopi dalam air. Koloid yang terbentuk sangat legap dan kental.

“klutik,,, klutik,,, klutik” benturan sendok dengan dinding cangkir yang berisi racikan kopi. Adukan yang betah akan membuat racikan makin sedap. Jangan lupa, penampilan cangkir mempengaruhi selera dalam menikmati kopi. Begitulah kearifan emak dalam menyajikan secangkir kopi.

Emak adalah perempuan pertama, ada lagi perempuan yang saat membuat kopi sangat memperhatikan dalam menyajikanya. Perempuan itu, nanti akan adalah sambungan yang akan bercerita tentangnya. Saat ini, mari menikmati kopi dari emak. Kopi emak memang enak, #srupptt.

Hp
Kutai Kartanegara, Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar