Pukul
dua kosong-kosong, waktu dimana ayam jago juga belum berkokok. Sebagian orang
sudah mulai bangun dari istirahat malamnya. Lengan baju yang dilipat sampai
atas siku, lalu melakukan basuhan awal dan sampai basuhan terakhir pada kaki,
untuk mensucikan dan untuk bersujud. Ada juga yang menurunkan hasil pertanian
di trotoar depan pasar, memanggul karung berisi jagung atau mendorong gerobak
bermuatan tomat dalam zak. Tapi tak sedikit juga yang baru memulai tidurnya,
setelah bercengkerama dengan keluarga yang terlalu larut, maklum tuntutan
pekerjaan kadang memaksa orang tua harus memulai dengan telat, termasuk juga
dengan buah hatinya.
Aku
sudah bangun, sebenarnya. Lima belas menit berselang baru aku benar-benar
bangun. Alarm yang membangunkan, tapi yang benar-benar membangunkan aku adalah
sapaan yang biasanya aku sapa lebih dulu kala pagi, meski tak jarang juga ia
lebih dulu menyapaku. Sapaan pagi itu seperti benar-benar sangat dekat. Tidak
seperti biasanya yang berseberangan pulau. Setidaknya pagi itu satu pulau.
Kurang
lima belas menit lagi menuju pukul tiga pagi. Hape berdering, dan yang ini
adalah kawan yang menjeput pagi ini dan dia sudah di depan penginapan. Mas
zulfan namanya, dan ia tak sendiri, ia bersama kawanya, Mas Andi saya
memanggilanya. Pukul tiga pas, kami tancap gas. Semakin manjauh dari penginapan
dan menuju puncak yang kami tuju. Perjalanan dengan kijang kapsul yang masih
mulus dan suspensi yang masih sangat halus. Jalan menanjak dan berkelok,
menyisip pada tebal kabut diantara pohon-pohon mahoni dan sungkai. “Jalan
disini aspal mas, tapi nanti ada jalan berbatu sebelum sampai di pos tracking”
kata Mas Andi.
Di
pos tracking kami berhenti, mobil diparkirkan di tempat seukuran lapangan bola
di dekat Telaga Cebong, dan cukup tidak mudah memarkir, karena di desa
tertinggi di pulau jawa ini ternyata banyak peminat untuk berdatangan, bahkan
di pukul yang ayam jago baru mulai berkokok.
Jalan
setapak bekas dilalui pendaki yang seperti sudah rutin, membuat jalur mendaki
bukit ini tak terlalu sulit dilewati. Di bukit ini ada dua puncak, dan di bukit
ini menampung seribuan pendaki pagi ini. “biasanya sampai dua ribuan mas yang
naik, Alhamdulillah pagi ini tak terlalu crowded” ujar Mas Zulfan di tengah
memandu tracking pagi ini. Sebenarnya lebih seru bila mendaki dalam situasi
tidak rame. Tapi ini bukit Sikunir, yang digandrungi banyak orang untuk
menikmati udara segar dan matari terbit berbinar.
Aku
jadi ingat meniti tebing puncak
Papandayan dengan kawan-kawan sekelas. Sepanjang punggung tebing kami
bergandengan, mengingatkan, menjaga dan melindungi dengan erat genggaman
tangan. Jari-jemari saling menali, menguatkan kepercayaan antar kami. Kami yang
satu kelas, kami yang sama ingin meraih puncak. Sikunir juga seperti itu,
banyak pendaki, memang banyak tak saling mengenal, tapi saling menjaga. Dan
pada tangan yang aku genggam dengan hati-hati adalah tangan-mu. Dengan mu aku
ingin meraih puncak, ingin menikmati aroma alam sebagai terapi kasih pada
setiap kepingan eritrosit, dan supaya tak beku di tengah suhu yang mulai kaku.
Panjang
dan tinggi, kemudian aku sampai di puncak dua. Ini puncak yang tak tertinggi.
Kami memutuskan untuk di puncak dua saja karena puncak tertinggi masih cukup
jauh, tapi setelah lima menit kabut masih tebal aku memutuskan untuk naik lagi
ke puncak pertama, dengan harap dapat menikmati golden sunrise. Nanjak sekali
rutenya dan saat kira-kira tinggal enam
meter jarak vertical sampai di puncak, aku sejenak menghentak nafas. Dengan
agak jongkok dan merayap akhirnya aku, kamu dan kawan-kawan sampai di puncak
pertama, puncak tertinggi Sikunir. Pada arah timur terlihat elok paras Sindoro
dengan semburat kuning keemasan pada lembah sisi kiri. Takjubku tak mampu
merangkai pada setiap helai kata yang sudah tersusun di otak. Sebatang dari dalam
kotak putih lah yang dapat menyampaikan pesan ku, sekalian sebagai penghangat
suhu yang benar-benar membekukan ujung bibir. Dan pori-pori telapakmu membantu
menghangatkan tubuhku melalui pori-pori tanganku. Bul-bul-bul,,, nikmat.
Sikunir, kami diubun-ubunmu. Sindoro, kami ada di depanmu. Matari, jelmaan Ra,
kami menatapmu. Dan kamu, dengan segala ketakjuban yang secara automatis
tersusun, kamu ada di sisi kiriku. Terimakasih.
![]() |
Panorama Sunrise di Sindoro dari Sikunir |
![]() |
Telaga Cebong |
hp
Kutai Kartanegara, 26 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar