Selasa, 26 November 2013

Puncak Sikunir


Pukul dua kosong-kosong, waktu dimana ayam jago juga belum berkokok. Sebagian orang sudah mulai bangun dari istirahat malamnya. Lengan baju yang dilipat sampai atas siku, lalu melakukan basuhan awal dan sampai basuhan terakhir pada kaki, untuk mensucikan dan untuk bersujud. Ada juga yang menurunkan hasil pertanian di trotoar depan pasar, memanggul karung berisi jagung atau mendorong gerobak bermuatan tomat dalam zak. Tapi tak sedikit juga yang baru memulai tidurnya, setelah bercengkerama dengan keluarga yang terlalu larut, maklum tuntutan pekerjaan kadang memaksa orang tua harus memulai dengan telat, termasuk juga dengan buah hatinya.

Aku sudah bangun, sebenarnya. Lima belas menit berselang baru aku benar-benar bangun. Alarm yang membangunkan, tapi yang benar-benar membangunkan aku adalah sapaan yang biasanya aku sapa lebih dulu kala pagi, meski tak jarang juga ia lebih dulu menyapaku. Sapaan pagi itu seperti benar-benar sangat dekat. Tidak seperti biasanya yang berseberangan pulau. Setidaknya pagi itu satu pulau.

Kurang lima belas menit lagi menuju pukul tiga pagi. Hape berdering, dan yang ini adalah kawan yang menjeput pagi ini dan dia sudah di depan penginapan. Mas zulfan namanya, dan ia tak sendiri, ia bersama kawanya, Mas Andi saya memanggilanya. Pukul tiga pas, kami tancap gas. Semakin manjauh dari penginapan dan menuju puncak yang kami tuju. Perjalanan dengan kijang kapsul yang masih mulus dan suspensi yang masih sangat halus. Jalan menanjak dan berkelok, menyisip pada tebal kabut diantara pohon-pohon mahoni dan sungkai. “Jalan disini aspal mas, tapi nanti ada jalan berbatu sebelum sampai di pos tracking” kata Mas Andi.

Di pos tracking kami berhenti, mobil diparkirkan di tempat seukuran lapangan bola di dekat Telaga Cebong, dan cukup tidak mudah memarkir, karena di desa tertinggi di pulau jawa ini ternyata banyak peminat untuk berdatangan, bahkan di pukul yang ayam jago baru mulai berkokok.

Jalan setapak bekas dilalui pendaki yang seperti sudah rutin, membuat jalur mendaki bukit ini tak terlalu sulit dilewati. Di bukit ini ada dua puncak, dan di bukit ini menampung seribuan pendaki pagi ini. “biasanya sampai dua ribuan mas yang naik, Alhamdulillah pagi ini tak terlalu crowded” ujar Mas Zulfan di tengah memandu tracking pagi ini. Sebenarnya lebih seru bila mendaki dalam situasi tidak rame. Tapi ini bukit Sikunir, yang digandrungi banyak orang untuk menikmati udara segar dan matari terbit berbinar.

Aku jadi ingat meniti tebing puncak  Papandayan dengan kawan-kawan sekelas. Sepanjang punggung tebing kami bergandengan, mengingatkan, menjaga dan melindungi dengan erat genggaman tangan. Jari-jemari saling menali, menguatkan kepercayaan antar kami. Kami yang satu kelas, kami yang sama ingin meraih puncak. Sikunir juga seperti itu, banyak pendaki, memang banyak tak saling mengenal, tapi saling menjaga. Dan pada tangan yang aku genggam dengan hati-hati adalah tangan-mu. Dengan mu aku ingin meraih puncak, ingin menikmati aroma alam sebagai terapi kasih pada setiap kepingan eritrosit, dan supaya tak beku di tengah suhu yang mulai kaku.

Panjang dan tinggi, kemudian aku sampai di puncak dua. Ini puncak yang tak tertinggi. Kami memutuskan untuk di puncak dua saja karena puncak tertinggi masih cukup jauh, tapi setelah lima menit kabut masih tebal aku memutuskan untuk naik lagi ke puncak pertama, dengan harap dapat menikmati golden sunrise. Nanjak sekali rutenya dan saat  kira-kira tinggal enam meter jarak vertical sampai di puncak, aku sejenak menghentak nafas. Dengan agak jongkok dan merayap akhirnya aku, kamu dan kawan-kawan sampai di puncak pertama, puncak tertinggi Sikunir. Pada arah timur terlihat elok paras Sindoro dengan semburat kuning keemasan pada lembah sisi kiri. Takjubku tak mampu merangkai pada setiap helai kata yang sudah tersusun di otak. Sebatang dari dalam kotak putih lah yang dapat menyampaikan pesan ku, sekalian sebagai penghangat suhu yang benar-benar membekukan ujung bibir. Dan pori-pori telapakmu membantu menghangatkan tubuhku melalui pori-pori tanganku. Bul-bul-bul,,, nikmat. Sikunir, kami diubun-ubunmu. Sindoro, kami ada di depanmu. Matari, jelmaan Ra, kami menatapmu. Dan kamu, dengan segala ketakjuban yang secara automatis tersusun, kamu ada di sisi kiriku. Terimakasih.


Panorama Sunrise di Sindoro dari Sikunir
Telaga Cebong
 hp
Kutai Kartanegara, 26 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar