Selasa, 22 Januari 2013

Banjir Ibu Kota




Pekan ke tiga Januari 2013. Ibu kota tenggelam. Tidak hanya rumah gubuk di bantaran sungai yang tenggelam, roda perekonomian juga kelelep, pakar ekonom merinci dengan kalkulator dagang dan bisnis bahwa kerugian sampai bertriliunan rupiah, bahkan Ketua APINDO menaksir kerugian mencapai 500 miliar per hari. Sekolah libur dan anak-anak gembira bermain air, walau tak semua berakhir gembira karena ada korban bocah yang terbawa arus air dan meninggal. Para sekertaris dipulangkan sebelum jam selesai kerja, karena air terus meninggi dan memaksa PLN memadamkan aliran arus listrik dan mereka tidak dapat mencetak laporan mingguanya. Pedagang bakso sementara juga berlibur, karena babi memilih lari mencari daerah yang lebih tinggi, dan tidak ada bahan. Apalagi pedagang asongan, tisu paseonya pada basah dan rokok otekan nya juga mlempem kena air.Ojek, taksi dan busway juga mandek tak beroperasi. Ojek motor masih maklum menurut saya, tapi busway yang dirancang dengan jalan yang eksklusif pun tak bergeming mesinya saat air dari kota di sebelah selatan ibu kota mengaliri ibu kota. Ibu kota lumpuh dan penyakitnya sedang kambuh.


Coen merencanakan kota Jakarta hanya dengan penduduk sebanyak 400 000 jiwa. Tapi saat ini penduduk kota Jakarta menyentuh jiwa angka berjuta-juta. Tidak hanya ahli dan akademisi tata kota yang sekarang dapat sekedar berargumen tentang penyebab banjir di Jakarta. Sopir  bemo di kota ini pun dapat berujar kalau banjir di Jakarta ini adalah akibat kepadatan penduduk dan berimplikasi pada tidak adanya pori-pori tanah yang bebas menyerap air hujan. Sampah dan limbah domestic maupun industry juga penyebab. Ciliwung semakin ke hilir menurutku bukanlah sungai yang mengalirkan air lagi, ciliwung sudah lama menjadi aliran cairan seperti oli bekas dengan tumpukan plastik detergen dan botol shampoo. Kehidupan urban dengan laju perkembangan yang pesat juga cepat pula merubah ciliwung menjadi aliran yang menjijikan dan tak sedap di hidung siapa saja yang melintas di dekatnya.


Topografi Ibu kota semakin utara semakin rendah, bahkan bagian utara Ibu kota adalah wetland. Semangat pembagunan urban telah melupakan hal topografi tersebut. Jumlah penduduk yang semakin banyak dan kelompok ekonomi menengah ke atas juga sebakin meninggi kurvanya, mendorong pengusaha property secara sporadis mengurug rawa dan habitat mangrove untuk dijadikan perumahan elit yang dalam promonya aman dari banjir-masih pada ingatkan, setiap hari minggu mantan presenter Silet dengan fasih menjajakan dagangan rumah-rumah tersebut.


Saya juga masih ingat, beberapa tahun yang lalu ketika saya mengikuti program penanaman dan pemeliharaan mangrove di muara angke oleh organisasi mahasiswa dari IPB, Tree Grower Community. Ketika dilihat pada area yang seharusnya adalah habitat mangrove di gubah sedemikian hingga sehingga sebagian besar area mangrove menjadi perumahan yang benar-benar aduhai – benar-benar perumahan  yang diperuntukan untuk kalangan atas. Habitat mangrove tinggal di titik-titik tertentu, seperti di Muara Angke.


Daerah utara yang terus diurug, membuat topografi Jakarta berubah menjadi seperti cawan. Daerah Jakarta bagian tengah lebih rendah dibanding daerah utara yang terus diurug dan bagian selatan yang memang daerahnya cenderung lebih tinggi. Air hujan dengan intensitas sampai 150 mm perhari bingung akan menuju delta di utara ibu kota. Bingung juga ketika akan berinfiltrasi ke dalam tanah. Hampir semua tanah di ibu kota di lapisi semen juga aspal. Air juga bisa galau kali ya (?) mau merembes ke tanah ga boleh. Mau kearah muara di utara juga susah. Kondisi emosional air mendadak labil. Ia pundung dan akhirnya diluar sadar ia memilih menjebol tanggul di bantaran kali ciliwung. Air menyeruak dan semakin tak terarah. Ia ingin mengadu pada ibu kota dan ia mendatangi pusat ibu kota. Disana ia disambut oleh dua manusia paling tenang di Jakarta dan ia disapa “selamat datang” di bundaran Hotel Indonesia.


Masyarakat urban, manusia modern berkembang dengan akal dan teknologi yang tak hirau dengan alam. Ungkapan selaras dengan alam sudah lama ditinggalkan. Wajar saja kalau banjir menjadi penyakit kambuhan di ibu kota. Tak hanya puas dengan kota dalam kota dengan desain rapih perumahan yang lengkap dengan pusat perbelanjaan. Daerah penyangga Puncak Bogor juga sudah menjadi tempat investasi menjajikan untuk membangun Villa-villa. Puncak seharusnya tetap dilindungi yang diperuntukan untuk daerah resapan air, sehingga air tidak surplus pada penghujan dan tidak krisis pada kemarau di ibu kota. Dalam hal ini saya sepakat dengan kicauan Ayu utami dalam social media Twitter,  Ayu Utami dengan akun @BilanganFu


@BilanganFu : Manusia modern, dgn begitu, mperkosa alam, bukan bersetubuh dgnya secara dialogis.


Memperkosa merupakan proses dimana ada salah satu pihak menjadi subyek yang tak hirau posisi pihak lainya, yang satu mengumbar hawa nafsunya dan yang satu menjadi korban nafsu biadab. Adalah tidak benar ketika calon Hakim Agung menyatakan pemerkosa dan yang diperkosa adalah sama-sama mengalami “senang” atau menikmati. Pemerkosaan dan bersetubuh secara fisik dengan pandangan kasat mata memang menyerupai. Tetapi kalau ditinjau dari latar belakang sampai terjadinya proses itu sangat berbeda. Bersetubuh berawal dari kedua belah pihak yang sepakat untuk melakukan persetubuhan. Tidak ada obyek yang dipaksa. Semua berjalan secara organic. Keduanya sama-sama menuju keindahan yang puncak, orgasme. Bahkan pemerkosaan tidak ada dalam kamus reproduksi binatang. Pemerkosaan berakibat pada trauma yang panjang dan jatuh mental yang berlarut-demikian halnya dengan alam.


Jakarta dengan embel-embel DKI, Daerah Khusus Ibukota. Kota yang saat pemilihan Daerah untuk memilih Gubernur disebut-sebut sebagai contoh demokrasi yang ideal untuk daerah-daerah lainya. Kota yang selain susah untuk bebek mencari cacing, juga marak dengan kriminalitas, praktik korupsi dan pusatnya kejahatan-kejahatan yang ada di Negara kesatuan kita.

Banjir ibu kota seakan pengabulan doa Bang Iwan dalam lagu “Tuhan Tolong Dengar”. Hey tuhan katanya engkau maha bijaksana, tolong galunggung pindahkan ke kota. Dimana tempat segala macam dosa. Galunggung meletus adalah bencana alam yang dialami oleh warga sekitar gunung-warga desa. Warga desa yang selaras dengan alam, dimana pertanianya menyesuaikan dengan iklim alam. Kemarau nanam jagung atau nanam cabai, saat penghujan nanam padi. Selalu berdaya guna dan berdaya hasil pada situasi iklim berganti. Bukan pada pemaksaan dengan merubah rawa menjadi perumahan plus dengan mall-mall dan rumah sakit orang kaya.


Ada yang beda antara meletusnya Galunggung dengan banjir di Ibu kota. Galunggung adalah proses vulkanik yang wajar pada gunung berapi di Indonesia. Sedangkan banjir Ibu kota adalah implikasi dari keserakahan manusia dalam mengelola sumber daya alam. Meskipun keduanya adalah berbeda, tapi dampak yang ditimbulkan adalah sama. Kerugian materiil sampai pada hilangnya nyawa adalah dampak yang dapat membangkitkan jiwa kepedulian kita. Saling ulur tangan untuk sama-sama bangkit dari kerusakan yang terjadi, dari carut-marutnya tatanan yang ada, serta untuk kembali meredam sifat egosentris manusia terhadap alam.


-hp-
Kutai Kartanegara, Januari 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar