
Pekan ke
tiga Januari 2013. Ibu kota tenggelam. Tidak hanya rumah gubuk di bantaran
sungai yang tenggelam, roda perekonomian juga kelelep, pakar ekonom merinci
dengan kalkulator dagang dan bisnis bahwa kerugian sampai bertriliunan rupiah,
bahkan Ketua APINDO menaksir kerugian mencapai 500 miliar per hari. Sekolah
libur dan anak-anak gembira bermain air, walau tak semua berakhir gembira
karena ada korban bocah yang terbawa arus air dan meninggal. Para sekertaris
dipulangkan sebelum jam selesai kerja, karena air terus meninggi dan memaksa
PLN memadamkan aliran arus listrik dan mereka tidak dapat mencetak laporan
mingguanya. Pedagang bakso sementara juga berlibur, karena babi memilih lari
mencari daerah yang lebih tinggi, dan tidak ada bahan. Apalagi pedagang asongan,
tisu paseonya pada basah dan rokok otekan nya juga mlempem kena air.Ojek, taksi dan busway juga
mandek tak beroperasi. Ojek motor masih maklum menurut saya, tapi busway yang
dirancang dengan jalan yang eksklusif pun tak bergeming mesinya saat air dari
kota di sebelah selatan ibu kota mengaliri ibu kota. Ibu kota lumpuh dan
penyakitnya sedang kambuh.
Coen
merencanakan kota Jakarta hanya dengan penduduk sebanyak 400 000 jiwa. Tapi
saat ini penduduk kota Jakarta menyentuh jiwa angka berjuta-juta. Tidak hanya
ahli dan akademisi tata kota yang sekarang dapat sekedar berargumen tentang
penyebab banjir di Jakarta. Sopir bemo di kota ini pun dapat berujar
kalau banjir di Jakarta ini adalah akibat kepadatan penduduk dan berimplikasi
pada tidak adanya pori-pori tanah yang bebas menyerap air hujan. Sampah dan
limbah domestic maupun industry juga penyebab. Ciliwung semakin ke hilir
menurutku bukanlah sungai yang mengalirkan air lagi, ciliwung sudah lama
menjadi aliran cairan seperti oli bekas dengan tumpukan plastik detergen dan
botol shampoo. Kehidupan urban dengan laju perkembangan yang pesat juga cepat
pula merubah ciliwung menjadi aliran yang menjijikan dan tak sedap di hidung
siapa saja yang melintas di dekatnya.
Topografi
Ibu kota semakin utara semakin rendah, bahkan bagian utara Ibu kota adalah
wetland. Semangat pembagunan urban telah melupakan hal topografi tersebut.
Jumlah penduduk yang semakin banyak dan kelompok ekonomi menengah ke atas juga
sebakin meninggi kurvanya, mendorong pengusaha property secara sporadis
mengurug rawa dan habitat mangrove untuk dijadikan perumahan elit yang dalam
promonya aman dari banjir-masih pada ingatkan, setiap hari minggu mantan
presenter Silet dengan fasih menjajakan dagangan rumah-rumah tersebut.
Saya juga
masih ingat, beberapa tahun yang lalu ketika saya mengikuti program penanaman
dan pemeliharaan mangrove di muara angke oleh organisasi mahasiswa dari IPB, Tree Grower Community. Ketika
dilihat pada area yang seharusnya adalah habitat mangrove di gubah sedemikian
hingga sehingga sebagian besar area mangrove menjadi perumahan yang benar-benar
aduhai – benar-benar perumahan yang diperuntukan untuk kalangan atas.
Habitat mangrove tinggal di titik-titik tertentu, seperti di Muara Angke.
Daerah
utara yang terus diurug, membuat topografi Jakarta berubah menjadi seperti
cawan. Daerah Jakarta bagian tengah lebih rendah dibanding daerah utara yang
terus diurug dan bagian selatan yang memang daerahnya cenderung lebih tinggi.
Air hujan dengan intensitas sampai 150 mm perhari bingung akan menuju delta di
utara ibu kota. Bingung juga ketika akan berinfiltrasi ke dalam tanah. Hampir
semua tanah di ibu kota di lapisi semen juga aspal. Air juga bisa galau kali ya
(?) mau merembes ke tanah ga boleh. Mau kearah muara di utara juga susah.
Kondisi emosional air mendadak labil. Ia pundung dan akhirnya diluar sadar ia
memilih menjebol tanggul di bantaran kali ciliwung. Air menyeruak dan semakin
tak terarah. Ia ingin mengadu pada ibu kota dan ia mendatangi pusat ibu kota.
Disana ia disambut oleh dua manusia paling tenang di Jakarta dan ia disapa
“selamat datang” di bundaran Hotel Indonesia.
Masyarakat
urban, manusia modern berkembang dengan akal dan teknologi yang tak hirau
dengan alam. Ungkapan selaras dengan alam sudah lama ditinggalkan. Wajar saja
kalau banjir menjadi penyakit kambuhan di ibu kota. Tak hanya puas dengan kota
dalam kota dengan desain rapih perumahan yang lengkap dengan pusat
perbelanjaan. Daerah penyangga Puncak Bogor juga sudah menjadi tempat investasi
menjajikan untuk membangun Villa-villa. Puncak seharusnya tetap dilindungi yang
diperuntukan untuk daerah resapan air, sehingga air tidak surplus pada
penghujan dan tidak krisis pada kemarau di ibu kota. Dalam hal ini saya sepakat
dengan kicauan Ayu utami dalam social media Twitter, Ayu Utami dengan
akun @BilanganFu
@BilanganFu
: Manusia modern, dgn begitu, mperkosa alam, bukan bersetubuh dgnya secara
dialogis.
Memperkosa
merupakan proses dimana ada salah satu pihak menjadi subyek yang tak hirau
posisi pihak lainya, yang satu mengumbar hawa nafsunya dan yang satu menjadi
korban nafsu biadab. Adalah tidak benar ketika calon Hakim Agung menyatakan
pemerkosa dan yang diperkosa adalah sama-sama mengalami “senang” atau
menikmati. Pemerkosaan dan bersetubuh secara fisik dengan pandangan kasat mata
memang menyerupai. Tetapi kalau ditinjau dari latar belakang sampai terjadinya
proses itu sangat berbeda. Bersetubuh berawal dari kedua belah pihak yang
sepakat untuk melakukan persetubuhan. Tidak ada obyek yang dipaksa. Semua
berjalan secara organic. Keduanya sama-sama menuju keindahan yang puncak,
orgasme. Bahkan pemerkosaan tidak ada dalam kamus reproduksi binatang.
Pemerkosaan berakibat pada trauma yang panjang dan jatuh mental yang
berlarut-demikian halnya dengan alam.
Jakarta
dengan embel-embel DKI, Daerah Khusus Ibukota. Kota yang saat pemilihan Daerah
untuk memilih Gubernur disebut-sebut sebagai contoh demokrasi yang ideal untuk
daerah-daerah lainya. Kota yang selain susah untuk bebek mencari cacing, juga
marak dengan kriminalitas, praktik korupsi dan pusatnya kejahatan-kejahatan
yang ada di Negara kesatuan kita.
Banjir
ibu kota seakan pengabulan doa Bang Iwan dalam lagu “Tuhan Tolong Dengar”. Hey tuhan katanya engkau maha
bijaksana, tolong galunggung pindahkan ke kota. Dimana tempat segala macam dosa.
Galunggung meletus adalah bencana alam yang dialami oleh warga sekitar
gunung-warga desa. Warga desa yang selaras dengan alam, dimana pertanianya
menyesuaikan dengan iklim alam. Kemarau nanam jagung atau nanam cabai, saat
penghujan nanam padi. Selalu berdaya guna dan berdaya hasil pada situasi iklim
berganti. Bukan pada pemaksaan dengan merubah rawa menjadi perumahan plus
dengan mall-mall dan rumah sakit orang kaya.
Ada yang
beda antara meletusnya Galunggung dengan banjir di Ibu kota. Galunggung adalah
proses vulkanik yang wajar pada gunung berapi di Indonesia. Sedangkan banjir
Ibu kota adalah implikasi dari keserakahan manusia dalam mengelola sumber daya
alam. Meskipun keduanya adalah berbeda, tapi dampak yang ditimbulkan adalah
sama. Kerugian materiil sampai pada hilangnya nyawa adalah dampak yang dapat
membangkitkan jiwa kepedulian kita. Saling ulur tangan untuk sama-sama bangkit
dari kerusakan yang terjadi, dari carut-marutnya tatanan yang ada, serta untuk
kembali meredam sifat egosentris manusia terhadap alam.
-hp-
Kutai Kartanegara, Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar