Kamu pernah bilang, nanti ke Coffee time yuk?. Hayuuukk.
Jawabku penuh gairah. Manapun tempat yang ingin kamu jangkau, aku mau
menemanimu. Jawabku, kali ini hanya dalam hati. Jujur aku tak terlalu priorotas
tempat untuk denganmu. Manapun tempat asal denganmu, aku bisa merasakan ruang
fana yang pernah dijanjikan oleh agamaku. Itu saat bersamamu. Kata nanti,
ternyata masih lama. Masih ada beberapa minggu untuk menungguimu di Coffee time
yang pernah kamu sebut itu.
Malam ini aku di Coffee time. Resto dan café yang
cukup punya pelanggan berdandan necis di kota ini. Beberapa kali memang aku
sempat ngopi disini, meskipun sebenarnya yang ku ingini adalah untuk menikmati
konser musik. Konser musik di sini biasanya gratis. Untuk kali ini, aku di café
ini, untuk menepati undangan dari kantor. Tapi café ini beda dengan yang pernah
kamu janjikan. Aku disini, masih belum bersamamu. Untuk bersamamu masih
terhitung tujuh minggu, ini Coffee time yang di dekat sungai terbesar dan
terpanjang di provinsi yang ku tempati saat ini. Di tempat yang berbeda daratan
denganmu. Di tempat ini sering ada konser musik. Dan aku pertama kali menikmati
musik jazz di tempat yang baru ini, ya di café ini. Tentunya sejak aku tinggal
di tempat ini. Memang berbeda dengan tempat tinggal kamu. Di sana kita bisa
lebih sering menikamati musik-musik yang tak mainstream, tapi di sini sangat
langka dan jarang. Dengar-dengar malah baru kali ini, di kota ini ada live
music Jazz dengan mendatangkan musisi sekelas Benny Likumahuwa, Barry Likumahuwa,
I Wayan Balawan serta lainya.
Pada lantai atas, di meja pojok kiri yang lebih
dekat dengan panggung live music dan pantulan cahaya bulan pada setiap lekukan
kecil ombak sungai sangat jelas dari meja ini. Wajar setiap orang mau
mengadakan acara di sini. Selain tempatnya luas, menu makanan dan minumanya
beraneka, juga view Mahakam malam hari yang mempesona. Ditambah lagi
pemandangan jembatan Mahakam yang pas di sisi kiri café saat menatap pada badan
sungai.
Di meja ini, masih belum denganmu. Waktu yang pernah
kamu janjikan juga masih tujuh minggu. Pada nama tempat yang sama kenapa
memiliki arti yang sangat jauh. Sejauh apapun itu, tapi mengapa aku selalu
membandingkan yang ada di sini dengan kamu. Entah berapa ribu kilometer jarak
tempatmu dengan di sini. Entah harus berapa ribu kali jarum jam terpanjang berotasi
untuk sampai berjumpa dengan kamu. Di Coffee time ini, yang aku ingin
sebenarnya adalah kamu. Pun jika tidak, aku ingin kamu memelukku walau hanya
dalam imajiku.
Empat puluh lima menit berlalu. Aku belum bersalam
sapa dengan tamu-tamu yang lain di acara ini. Kebanyakan dari mereka aku kenal.
Mereka berkelompok-kelompok pada setiap meja yang mampu diisi empat sampai lima
kursi. Aku lihat mereka ada yang menyantap kudapan beraneka macam, ada
blueberry, lumpia daging, scrambled egg dan yang entah apa namanya, yang jelas
sepertinya rasanya lezat. Di acara seperti ini sudah barang tentu ada jamuan
wine, champagne dan tequila. Dan aku memesan espresso single kepada laki-laki
dengan pakaian putih dipadu dengan ijo toska dan bertutup kepala seperti peci
tetapi agak kecil. Ia ramah juga manis,
kemudian ia bilang, mohon ditunggu ibu,
pesanan ibu akan segera kami antar. Maka bergegaslah ia menuju bar yang
berada di sudut berlawanan dengan mejaku. Aku tak biasa meminum yang
beralkohol, dan aku sangat gemar dengan kopi, dan di tempat ini sajian espresso-nya
cukup nikmat disaji.
Sebenarnya aku mau bilang kepada pramusaji yang tadi,
panggil saja teteh atau nama saja. Aku belum beranak-pinak, jadi lebih seneng
dipanggil seperti itu. Aku juga mau bilang, jangan lama-lama memandangku, nanti
kepincut, dan maaf aku sudah ada yang punya.
Aku masih di meja ini. Sambil menunggu espresso yang
aku pesan, Kemudian aku keluarkan kameraku dari tas. View jembatan Mahakam
menggoda untuk diabadikan dalam lensa. Beberapa kali jepretan ku ambil untuk
mendapatkan hasil yang paling mungkin untuk sedikit memikirkan hal lain selain
kamu.
Music mulai melagu. Sepertinya kali ini yang unjuk
tampil adalah musisi setempat, ya setidaknya ia mengerti betul musik apa yang
aku ingini malam ini. Lantunan malam biru nya Sandy Sandoro. Kualitas band yang
unjuk di malam ini tidak mengecewakan. Mereka rapih secara teknik memainkan
musik malam biru.
Aku ngga tahu nama band musik yang malam ini
menghibur para penikmat malam di café ini. Dan aku yakin mereka juga tidak
kenal aku. Tapi malam ini aku berterimakasih kepada mereka. Mereka membuka lagu
seperti memberikan cermin padaku. Mereka semakin menunjukan kalau aku
benar-benar rindu pada kamu. kamu dengan senyum yang selalu membuatku tenang.
Kamu dengan sinar mata yang maskulin memberi perlindungan padaku.
aku arahkan lensa kameraku ke arah beberapa teman
yang sedang makan. Sambil makan mereka memasang gaya atau pose paling gokil
untuk gambar yang ku ambil. Yah lumayan, aku suka gaya mereka. Gaya yang malam ini
menjadi kikuk saat aku ingin meniru gaya mereka. Ku akui, malam ini benar-benar
paradoks. Hatiku seperti ingin mengelana ke tempat kamu di sana. padahal malam ini
aku harus masih di sini. Di acara yang digagas oleh bos ku. Refreshing dan
saling mengakrabkan antar staf dalam satu departemen, juga bersama rekan
kontraktor.
Aku kembali ke meja. Meja yang berada tepat
berlawanan dengan bar di café ini. Dan dari jarak lima langkah dari aku duduk,
pramusaji yang manis itu melempar senyum dengan mempersilakan untuk menikmati
espresso yang telah aku pesan. Selain ramah, setelah kuperhatikan pramusaji ini
cukup tampan. Tetapi system dalam tubuhku langsung terganggu ketika aku
menikmati keindahan paras pada orang lain. Mungkin generator dalam system ini
sudah terinstalasi untuk hanya kamu yang di sana. Untuk kamu yang mengajakku sekedar
menghabiskan waktu di Coffee time. Dan aku yang sebenarnya akan lebih memilih
menghabiskan waktu untuk mencumbui dan dicumbui kamu.
Seratus dua puluh lima menit berlalu. Aku mulai mengkritisi
diriku. Kenapa malam ini aku harus menghabiskan waktu di sini tanpamu. Mengapa
aku harus memilih bertempat yang lebih jauh darimu. Mulai jemu, kamera
kukantongi kembali. Fikiran mulai berkelena ingin menuju rumahmu. Membayangkan
malam ini aku sudah sampai di bandara, dan meneleponmu, aku ingin kamu jemput,
di pintu kedatangan domestik pada salah satu maskapai penerbangan bandara itu.
Ahh sudah, ini sudah malam. Dan belum sudah ceritaku
untuk kamu. Dalam pamitan kepada para tamu dan kepada Bos ku, aku memasang
seringai senyum untuk mereka. Mereka yang pasti tidak akan pernah mengerti
cerita dalam diriku untuk mu, yang dalam, yang sampai malam akan selalu
berulang. Cukupkan saja untuk Coffee time ini, dan pada Coffee time yang masih
tujuh minggu nanti, aku akan bersamamu. Dan kini aku masih menghitung waktu
dalam minggu-minggu.
-hp-
Samarinda, April
2013
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus