Selasa, 09 April 2013

Konsorsium 10-rupiah


Masih ingat cerita dengan judul Putung ke-4 yang saya suguhkan sebelumnya. Yaa, itu adalah cerita ringkas tentang hak merokok dan kewajiban untuk menghormati orang yang tidak merokok. Dan saya tak menampilkan mana yang menjadi prioritas, hak ataukan kewajiban dalam konteks tersebut. Saya lebih menekankan attitude pada keduanya. Itu bagiku adalah jalan tengah.

Kemudian secara tidak saya rencanakan, saya menemukan artikel pada kompas.com yang ditulis oleh Mariska Lubis pada tanggal 1 april 2013 dengan judul Merokok adalah hak asasi manusia. Mariska mengulas tentang Negara demokrasi di Indonesia sebelum ada peraturan daerah di ibukota yang melarang merokok di mall atau di tempat umum lainya. Negara Indonesia lebih demokratis dibanding Negara Amerika atau Singapura, menurutnya. Tolok ukurnya adalah peraturan larangan merokok di tempat umum. Di Amerika, orang merokok di luar rumah adalah seperti mencari jankrik aduan pada musim akhir penghujan, sangat sulit.

Di Indonesia, tentunya sekitar 5 tahun kebelakang, orang bebas ngemut cerutu maupun ngisap keretek di setiap halte bus atau stasiun kereta. Ini adalah kebebesan organik kalau saya boleh menyebutnya. Kebebasan yang bukan adopsian dari negara-negara pengawal demokrasi. Seiring dengan informasi dan publikasi tentang dampak negative rokok, mulailah pencegahan bahkan sampai pelarangan merokok dicetak yang kemudian ditempel di pintu angkot, di tembok-tembok pagar pinggir jalan. Bahkan isu yang terbaru adalah penyertaan gambar penyakit pada bungkus rokok. Ini sungguh luar biasa. Upaya untuk menyempitkan ruang gerak para ahli hisab semakin kedap.

Saya pribadi tidak mempersoalkan penolakan yang semakin tajam kepada konsumen rokok dan produsen rokok dalam negeri. Saya memang tak mempersoalkan merokok, karena itu memang hak perokok. Tapi saya menyayangkan perokok yang seenak jidat kebal-kebul di depan wanita hamil atau bayi yang baru lahir. Kebebasan kita memang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Bukankah manusia merupakan makluk social,  homo homini socius ?

Akhir-akhir ini sudah lumayan besar para perokok yang mulai memperhatikan itu. Walaupun masih sangat jauh lebih besar juga yang rokok sak penake udele dewe. Saya sering melihat perokok yang menahan rokoknya walalupun pada jam indah-indahnya merokok saat di depan cewenya. Seperti pas mereka makan bareng. Setelah makan kebiasan perokok akan mengalami ritual indah bersama lisongnya. Tapi saat ia bersama cewe yang ia cintai, ia akan menahan itu. Menurut saya itu pengorbanan yang tak tertakar. Itu lebih mulia dibanding  si cowo mentraktir makan malam pas itu. Dan untuk para cewe yang cowonya ahli hisab, dan pas setelah makan bareng kok doi ndak merokok, itu semua demi etika kepada cewe, itu penuh pengorbanan bangeut. Nah,,jadi giliran nanti pas di kasir para cewe lah yang berkorban. Hheuheu.

Pernah terpikir selintas dalam benak. Para perokok, apalagi perokok berat atau ahli hisab itu ada sebuah konsorsium. Dalam konsorsium tersebut para perokok melakukan pergerakan bermanfaat untuk umat dan lingkungan. Kanker dan jantung sekarang bukan barang baru dalam dunia kesehatan. Dua makluk itu menyerang banyak manusia yang ada di sekitar kita, atau mungkin juga kita. Sekecil apapun peran rokok, saya yakin pasti rokok dan perokok terlibat dalam konspirasi pelemahan fungsi organ tersebut. Kemudian isu global warming yang saat ini kita sudah merasakan dampak langsungnya. Siapa yang tak bilang Bogor sekarang lebih panas dibanding tahun 90 awal? Semua sepakat pemanasan itu terjadi dengan nyata. Belum lagi tragedi-tragedi alam lainya yang menimbulkan kerugian seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut konsorsium bisa memperhatikanya.

Tindakan sosial seperti melakukan pengobatan gratis pada penyandang sakit jantung atau kanker pada bocah misalnya. Itu bisa dilakukan oleh konsorsium tersebut. Atau pemeliharaan lingkungan dengan membuat tempat sampah, supaya Ciliwung kembali menjadi fungsinya, bukan menjadi sungai plastik. Atau penanaman bayi Samanea saman juga bisa menjadi alternative untuk menjaga lingkungan bumi kita.

Jumlah perokok di Indonesia adalah 4.8 % dari 1.3 milyar perokok seluruh dunia*. Jadi kalau dihitung-hitung perokok Indonesia ada sekitar 62.400.000. Seperempat dari penduduk Indonesia pada tahun 2010, jumlah yang sangat besar. Jika setiap jiwa perokok tersebut menghabiskan per hari rata-rata 10 batang rokok dengan harga sebatang rokok anggaplah 800 rupiah, saya ambil rata-rata konsumsi rokok dan harga rokok agak ke bawah. Mengingat jumlah konsumsi dan harga rokok per batang bisa jauh lebih tinggi dari rataan yang saya gunakan di atas. Maka jumlah rokok dalam sehari yang dikonsumsi oleh warga perokok Indonesia adalah 624.000.000 batang. Dan jika di rupiahkan dalam sehari anggaran belanja untuk perokok seluruhan adalah Rp. 499.200.000.000,00. Nilai yang sangat fantastik, nyaris setengah T. bagi pengamat ekonomi mungkin ini akan menjadi bahan kajian yang sangat berharga. Karena dengan perputaran uang sebesar itu maka rokok mempunyai andil dalam perputaran roda ekonomi di negeri ini. Mulai dari pabrik atau perusahaan rokok sampai asongan dimana pada setiap batang yang terjual itu sangat berarti baginya.

Yang akan saya jabarkan bukan hal itu, begini.. andaikan pada setiap 800 per batang itu ada potongan 10 rupiah untuk dijadikan anggaran yang masuk dalam konsorsium perokok Indonesia, yang sudah saya singgung sebelumnya. 10 rupiah saja, tak usah banyak-banyak. Yang banyak biarlah masuk kekantong pemilik modal, seperti pemilik Gudang garam atau Djarum dan para pedangang klontongan serta para pengasong.

10 rupiah per batang saja. Sehinggga jika dihitung di setiap harinya akan terkumpul Rp. 6.240.000.000,00. Nilai yang bisa menjadi sangat berharga jika nominal tersebut digunakan dalam kegiatan sosial-kesehatan dan lingkungan. Itu per harinya. Jika per bulan maka nominal 10 rupiah perbatang tersebut menjadi Rp. 187.200.000.000,00. Maka para perokok secara langsung dapat membantu para penderita kanker atau jantung, kemudian juga dapat ikut serta dalam penghijauan hutan kota, atau penyediaan tempat sampah pada titik keramaian kota sehingga sampah tak tercecer yang mengganggu pandangan mata.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mekanisme pemotongan 10 rupiah pada setiap batangnya? Ini memang sedikit njlimet dan hati-hati. Setelah majelis dalam konsorsium itu terbentuk, yang mewakili konsorsium tersebut bisa maju kemudian kerja sama dengan bank dan perusahaan rokok. 10 rupiah per batang masuk dalam harga rokok per bungkus. Kemudian 10 rupiah tersebut oleh perusahaan akan dimasukkan ke bank yang dapat diakses oleh konsorsium dan dapat digunakan untuk kegiatan sosial-kesehatan dan lingkungan. Namanya juga konsorsium perokok, biasa di warung dan geram dengan para penyelenggara Negara yang memanfaatkan uang Negara dengan tak bertanggung jawab. Maka pengelolaan 10 rupiah perbatang tersebut pada setiap bulanya akan dilakukan pertanggungjawaban dengan transparan dan akuntable.

Ah jangan kearah akuntable atau ble ble yang lainya. Saya yakin kok, ada ahli hisab yang juga ahli akuntansi dan kebendaharaan. Nah orang seperti itu nanti yang pasang dada untuk pengelolaan uang dari 10 rupiah.

Kemungkinan besar sih dalam harga satu bungkus rokok sudah disertakan anggaran untuk keperluan itu. Makanya ada program-program Corporate social responsibility-CSR pada perusahaan rokok. Tapi perusahaan tak pernah mengikutsertakan para konsumenya ketika melakukan bakti perusahaan untuk negeri. Sehingga antara produsen-konsumen tak ada ikatan yang sama-sama membangun untuk kepedulian social-kesehatan dan lingkungan. Dalam kondisi seperti ini, ketika ada intervensi dari asing untuk terus menekan eksistensi rokok cukup mudah. Dengan isu-isu kesehatan maupun yang lainya. Tapi ketika kondisi antara para konsumen dan para produsen ada ikatan yang baik, maka ikatan tersebut akan banyak lebih memberi manfaat untuk negeri kita.

Jadi untuk perokok, selain harus santun dalam merokok, perokok juga bisa memberi manfaat dari 10 rupiah untuk kesehatan masyarakat dan lingkungan kita.


-hp-

Tenggarong, 9 April 2013

1 komentar: