
Kemudian secara tidak saya rencanakan, saya
menemukan artikel pada kompas.com yang ditulis oleh Mariska Lubis pada tanggal
1 april 2013 dengan judul Merokok adalah hak asasi manusia. Mariska mengulas
tentang Negara demokrasi di Indonesia sebelum ada peraturan daerah di ibukota
yang melarang merokok di mall atau di tempat umum lainya. Negara Indonesia lebih
demokratis dibanding Negara Amerika atau Singapura, menurutnya. Tolok ukurnya
adalah peraturan larangan merokok di tempat umum. Di Amerika, orang merokok di
luar rumah adalah seperti mencari jankrik aduan pada musim akhir penghujan,
sangat sulit.
Di Indonesia, tentunya sekitar 5 tahun kebelakang, orang
bebas ngemut cerutu maupun ngisap keretek di setiap halte bus atau stasiun kereta.
Ini adalah kebebesan organik kalau saya boleh menyebutnya. Kebebasan yang bukan
adopsian dari negara-negara pengawal demokrasi. Seiring dengan informasi dan
publikasi tentang dampak negative rokok, mulailah pencegahan bahkan sampai
pelarangan merokok dicetak yang kemudian ditempel di pintu angkot, di
tembok-tembok pagar pinggir jalan. Bahkan isu yang terbaru adalah penyertaan
gambar penyakit pada bungkus rokok. Ini sungguh luar biasa. Upaya untuk
menyempitkan ruang gerak para ahli hisab semakin kedap.
Saya pribadi tidak mempersoalkan penolakan yang
semakin tajam kepada konsumen rokok dan produsen rokok dalam negeri. Saya
memang tak mempersoalkan merokok, karena itu memang hak perokok. Tapi saya
menyayangkan perokok yang seenak jidat kebal-kebul di depan wanita hamil atau
bayi yang baru lahir. Kebebasan kita memang dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Bukankah manusia merupakan makluk social,
homo homini socius ?
Akhir-akhir ini sudah lumayan besar para perokok
yang mulai memperhatikan itu. Walaupun masih sangat jauh lebih besar juga yang
rokok sak penake udele dewe. Saya sering
melihat perokok yang menahan rokoknya walalupun pada jam indah-indahnya merokok
saat di depan cewenya. Seperti pas mereka makan bareng. Setelah makan kebiasan
perokok akan mengalami ritual indah bersama lisongnya. Tapi saat ia bersama
cewe yang ia cintai, ia akan menahan itu. Menurut saya itu pengorbanan yang tak
tertakar. Itu lebih mulia dibanding si
cowo mentraktir makan malam pas itu. Dan untuk para cewe yang cowonya ahli
hisab, dan pas setelah makan bareng kok doi ndak merokok, itu semua demi etika
kepada cewe, itu penuh pengorbanan bangeut. Nah,,jadi giliran nanti pas di
kasir para cewe lah yang berkorban. Hheuheu.
Pernah terpikir selintas dalam benak. Para perokok,
apalagi perokok berat atau ahli hisab itu ada sebuah konsorsium. Dalam
konsorsium tersebut para perokok melakukan pergerakan bermanfaat untuk umat dan
lingkungan. Kanker dan jantung sekarang bukan barang baru dalam dunia
kesehatan. Dua makluk itu menyerang banyak manusia yang ada di sekitar kita,
atau mungkin juga kita. Sekecil apapun peran rokok, saya yakin pasti rokok dan
perokok terlibat dalam konspirasi pelemahan fungsi organ tersebut. Kemudian isu
global warming yang saat ini kita sudah merasakan dampak langsungnya. Siapa
yang tak bilang Bogor sekarang lebih panas dibanding tahun 90 awal? Semua
sepakat pemanasan itu terjadi dengan nyata. Belum lagi tragedi-tragedi alam
lainya yang menimbulkan kerugian seperti banjir, tanah longsor dan lain
sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut konsorsium bisa memperhatikanya.
Tindakan sosial seperti melakukan pengobatan gratis
pada penyandang sakit jantung atau kanker pada bocah misalnya. Itu bisa
dilakukan oleh konsorsium tersebut. Atau pemeliharaan lingkungan dengan membuat
tempat sampah, supaya Ciliwung kembali menjadi fungsinya, bukan menjadi sungai
plastik. Atau penanaman bayi Samanea
saman juga bisa menjadi alternative untuk menjaga lingkungan bumi kita.
Jumlah perokok di Indonesia adalah 4.8 % dari 1.3
milyar perokok seluruh dunia*. Jadi kalau dihitung-hitung perokok Indonesia ada
sekitar 62.400.000. Seperempat dari penduduk Indonesia pada tahun 2010, jumlah
yang sangat besar. Jika setiap jiwa perokok tersebut menghabiskan per hari rata-rata
10 batang rokok dengan harga sebatang rokok anggaplah 800 rupiah, saya ambil
rata-rata konsumsi rokok dan harga rokok agak ke bawah. Mengingat jumlah
konsumsi dan harga rokok per batang bisa jauh lebih tinggi dari rataan yang saya gunakan di
atas. Maka jumlah rokok dalam sehari yang dikonsumsi oleh warga perokok Indonesia
adalah 624.000.000 batang. Dan jika di rupiahkan dalam sehari anggaran belanja
untuk perokok seluruhan adalah Rp. 499.200.000.000,00. Nilai
yang sangat fantastik, nyaris setengah T. bagi pengamat ekonomi mungkin ini
akan menjadi bahan kajian yang sangat berharga. Karena dengan perputaran uang
sebesar itu maka rokok mempunyai andil dalam perputaran roda ekonomi di negeri
ini. Mulai dari pabrik atau perusahaan rokok sampai asongan dimana pada setiap
batang yang terjual itu sangat berarti baginya.
Yang akan saya jabarkan bukan hal itu, begini..
andaikan pada setiap 800 per batang itu ada potongan 10 rupiah untuk dijadikan
anggaran yang masuk dalam konsorsium perokok Indonesia, yang sudah saya
singgung sebelumnya. 10 rupiah saja, tak usah banyak-banyak. Yang banyak
biarlah masuk kekantong pemilik modal, seperti pemilik Gudang garam atau Djarum
dan para pedangang klontongan serta para pengasong.
10 rupiah per batang saja. Sehinggga jika dihitung
di setiap harinya akan terkumpul Rp. 6.240.000.000,00. Nilai yang bisa menjadi
sangat berharga jika nominal tersebut digunakan dalam kegiatan sosial-kesehatan
dan lingkungan. Itu per harinya. Jika per bulan maka nominal 10 rupiah
perbatang tersebut menjadi Rp. 187.200.000.000,00. Maka para perokok secara
langsung dapat membantu para penderita kanker atau jantung, kemudian juga dapat
ikut serta dalam penghijauan hutan kota, atau penyediaan tempat sampah pada
titik keramaian kota sehingga sampah tak tercecer yang mengganggu pandangan
mata.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mekanisme
pemotongan 10 rupiah pada setiap batangnya? Ini memang sedikit njlimet dan
hati-hati. Setelah majelis dalam konsorsium itu terbentuk, yang mewakili
konsorsium tersebut bisa maju kemudian kerja sama dengan bank dan perusahaan rokok.
10 rupiah per batang masuk dalam harga rokok per bungkus. Kemudian 10 rupiah
tersebut oleh perusahaan akan dimasukkan ke bank yang dapat diakses oleh
konsorsium dan dapat digunakan untuk kegiatan sosial-kesehatan dan lingkungan. Namanya
juga konsorsium perokok, biasa di warung dan geram dengan para penyelenggara Negara
yang memanfaatkan uang Negara dengan tak bertanggung jawab. Maka pengelolaan 10
rupiah perbatang tersebut pada setiap bulanya akan dilakukan pertanggungjawaban
dengan transparan dan akuntable.
Ah jangan kearah akuntable atau ble ble yang
lainya. Saya yakin kok, ada ahli hisab yang juga ahli akuntansi dan
kebendaharaan. Nah orang seperti itu nanti yang pasang dada untuk pengelolaan
uang dari 10 rupiah.
Kemungkinan besar sih dalam harga satu bungkus
rokok sudah disertakan anggaran untuk keperluan itu. Makanya ada program-program
Corporate social responsibility-CSR pada perusahaan rokok. Tapi perusahaan tak
pernah mengikutsertakan para konsumenya ketika melakukan bakti perusahaan untuk
negeri. Sehingga antara produsen-konsumen tak ada ikatan yang sama-sama
membangun untuk kepedulian social-kesehatan dan lingkungan. Dalam kondisi
seperti ini, ketika ada intervensi dari asing untuk terus menekan eksistensi
rokok cukup mudah. Dengan isu-isu kesehatan maupun yang lainya. Tapi ketika
kondisi antara para konsumen dan para produsen ada ikatan yang baik, maka
ikatan tersebut akan banyak lebih memberi manfaat untuk negeri kita.
Jadi untuk perokok, selain harus santun dalam
merokok, perokok juga bisa memberi manfaat dari 10 rupiah untuk kesehatan
masyarakat dan lingkungan kita.
-hp-
Tenggarong, 9 April 2013
ide yang brilian bang HP :D
BalasHapus