Ini tentang cerita orang hebat dan tak jarang
memasang tampang garang di daerah saya berada sekarang.
Siapa yang tak sepakat kalau Indonesia adalah Negara
yang melimpah sumber daya alam. Bahkan grup music legend pop Indonesia merayakan
kekayaan itu dengan lagunya, kolam susu.
“ orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu
dan batu jadi tanaman “
Itulah cuplikan sedikit syair dari Koes plus pada
tahun 60an. Berbeda dengan tahun-tahun sekarang, orang-orang bakal menganggap
lagu tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi bumi pertiwi saat ini.
Penebangan pohon terjadi pada setiap jengkal katulistiwa, alih lahan hutan
menjadi kelapa sawit dan penambangan seakan menjadi prioritas penyelenggara
negara.
“Jamrud katulistiwa tinggalah namamu” betul adanya
tentang syair dari band asal bandung ini. Gigi.
Menurut saya sih tidak sepenuhnya lenyap, karena
dari mega-eksploitasi tersebut ada sedikit bekas dalam bentuk pembangunan yang digarap
pemerintah. Jembatan, jalan raya, pemekaran daerah bahkan hilangnya ekosistem
adalah bekas dari semua itu.
Dalam euphoria capital besar menjarah bumi pertiwi
ini, ternyata ada masyarakat yang memanfaatkan peluang untuk mendapat
keuntungan demi urusan perut beberapa orang saja. Mereka mengatasnamakan
organisasi yang berswadaya dari masyarakat, sering mengatasnamakan masyarakat.
Tapi masyarakat yang mana yang mereka wakili.
Dalam sebuah konsesi penambangan contohnya, mereka
bisa dikatakan rutin setiap minggu melakukan aksi dengan alasan pencemaran
lingkungan, perekrutan karyawan yang mengindahkan masyarakat lokal dan lain
sebagainya. Saya sepakat dengan alasan-alasan tersebut, tetapi aksi mereka
hanya selesai pada tahap teriak-teriak dan memberhentikan produksi penambangan,
kemudian saat disepakati antara perwakilan organisasi dengan pengusaha berupa
amplop atau cek rupiah, semua selesai begitu saja. Pencemaran lingkungan masih
jalan, diskriminasi pekerja lokal masih ada, dan yang mengatasnamakan semua itu
untuk diperjuangkan sudah tidak ada. Memang, rupiah itu dapat menutup mata
manusia untuk melihat sungai yang telah berlumpur.
Mereka yang unjuk rasa tadi mungkin adalah preman
yang menggunakan LSM sebagai wadah legalitas di hukum Indonesia. Mereka preman
yang menggunakan mata tajam dan bentakan yang hentak serta parang yang garang
untuk memperoleh jatah.
Preman. Ternyata ia tak sendiri. Ada juga lainya.
Yang kadang merupakan oposisi dari ia dan malah mungkin mereka adalah rival.
Rival untuk mendapat jatah yang lebih basah dari preman atau yang satunya ini.
Polisi.
Polisi pawakanya lebih tenang. Ia bersifat garang
cukup dengan seragam dan lencananya. Ia datang untuk menengahi konflik yang ada
antara pengusaha dan masyarakat. Menengahi, harusnya adalah memberikan
penyelesaian yang win-win solution. Tapi kita juga tahu apa yang akan di putuskan
oleh polisi.
Masyarakat tidak punya uang banyak, mereka hanya
punya lahan pertanian dan hak untuk mempertahankan sawahnya. Tapi apa sih nilai
dari hak untuk memperoleh keadilan masyarakat dibandingkan dengan uang
sebrangkas. Pengusaha bisa memberikan uang bahkan sebrangkasnya. Masyarakat
kecil?
Ahh yo wes lah,,,memang
kedua manusia macam di atas sudah terlalu sangar di mata masyarakat.
-hp-
Kutai Kartanegara, Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar