Selasa, 12 Februari 2013

2 manusia sangar


Ini tentang cerita orang hebat dan tak jarang memasang tampang garang di daerah saya berada sekarang.

Siapa yang tak sepakat kalau Indonesia adalah Negara yang melimpah sumber daya alam. Bahkan grup music legend pop Indonesia merayakan kekayaan itu dengan lagunya, kolam susu.

“ orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman “

Itulah cuplikan sedikit syair dari Koes plus pada tahun 60an. Berbeda dengan tahun-tahun sekarang, orang-orang bakal menganggap lagu tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi bumi pertiwi saat ini. Penebangan pohon terjadi pada setiap jengkal katulistiwa, alih lahan hutan menjadi kelapa sawit dan penambangan seakan menjadi prioritas penyelenggara negara.

“Jamrud katulistiwa tinggalah namamu” betul adanya tentang syair dari band asal bandung ini. Gigi.

Menurut saya sih tidak sepenuhnya lenyap, karena dari mega-eksploitasi tersebut ada sedikit bekas dalam bentuk pembangunan yang digarap pemerintah. Jembatan, jalan raya, pemekaran daerah bahkan hilangnya ekosistem adalah bekas dari semua itu.

Dalam euphoria capital besar menjarah bumi pertiwi ini, ternyata ada masyarakat yang memanfaatkan peluang untuk mendapat keuntungan demi urusan perut beberapa orang saja. Mereka mengatasnamakan organisasi yang berswadaya dari masyarakat, sering mengatasnamakan masyarakat. Tapi masyarakat yang mana yang mereka wakili.

Dalam sebuah konsesi penambangan contohnya, mereka bisa dikatakan rutin setiap minggu melakukan aksi dengan alasan pencemaran lingkungan, perekrutan karyawan yang mengindahkan masyarakat lokal dan lain sebagainya. Saya sepakat dengan alasan-alasan tersebut, tetapi aksi mereka hanya selesai pada tahap teriak-teriak dan memberhentikan produksi penambangan, kemudian saat disepakati antara perwakilan organisasi dengan pengusaha berupa amplop atau cek rupiah, semua selesai begitu saja. Pencemaran lingkungan masih jalan, diskriminasi pekerja lokal masih ada, dan yang mengatasnamakan semua itu untuk diperjuangkan sudah tidak ada. Memang, rupiah itu dapat menutup mata manusia untuk melihat sungai yang telah berlumpur.

Mereka yang unjuk rasa tadi mungkin adalah preman yang menggunakan LSM sebagai wadah legalitas di hukum Indonesia. Mereka preman yang menggunakan mata tajam dan bentakan yang hentak serta parang yang garang untuk memperoleh jatah.

Preman. Ternyata ia tak sendiri. Ada juga lainya. Yang kadang merupakan oposisi dari ia dan malah mungkin mereka adalah rival. Rival untuk mendapat jatah yang lebih basah dari preman atau yang satunya ini. Polisi.

Polisi pawakanya lebih tenang. Ia bersifat garang cukup dengan seragam dan lencananya. Ia datang untuk menengahi konflik yang ada antara pengusaha dan masyarakat. Menengahi, harusnya adalah memberikan penyelesaian yang win-win solution. Tapi kita juga tahu apa yang akan di putuskan oleh polisi.

Masyarakat tidak punya uang banyak, mereka hanya punya lahan pertanian dan hak untuk mempertahankan sawahnya. Tapi apa sih nilai dari hak untuk memperoleh keadilan masyarakat dibandingkan dengan uang sebrangkas. Pengusaha bisa memberikan uang bahkan sebrangkasnya. Masyarakat kecil?

Ahh yo wes lah,,,memang kedua manusia macam di atas sudah terlalu sangar di mata masyarakat.

-hp-
Kutai Kartanegara, Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar